PANORAMA SENJA



Dalam kerumunan rumput hijau yang membentang, kupandangi bintang-bintang yang memberikan senyum yang menawan. Semilir angin malam membuatku sedikit kedinginan, sejenak membuatku melupakan sosok dia, seorang yang mengisi hatiku dengan sejuta warna.

Lagi-lagi aku hanya duduk terdiam dalam kebisuan, di tengah sunyinya malam. Entah kenapa sosoknya selalu hadir dalam benakku. Jujur saja, aku merasa tak banyak usaha yang dia buat, sehingga aku bisa menaruh hati padanya. Tapi kenapa? Hati ini malah tertaut pada sosoknya?

Entah, sejak kapan aku mulai mencintainya. Tingkah lakunya yang terkadang ke kanak-kanakan, gaya bahasanya yang dewasa,  hal itulah yang aku sukai darinya. Apa mungkin aku jatuh cinta pandangan pertama padanya? Entahlah, aku tak ingin membiarkan diriku larut dalam lautan pertanyaan tentangnya.

Lagi-lagi aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Wajahnya terlihat serius membaca buku yang sedari tadi di pegangnya. Senyuman indah terlukis di wajah manisku, betapa tampannya dia saat membaca buku? Oh, sungguh dia sangat tampan. Kacamata hitam yang terpasang di wajahnya sangat cocok dengan wajahnya yang berbentuk oval. Entah, beratus kata lagi yang bisa ku rangkai untuk menceritakan tentang dirinya.

Aku terbangun dari lamunanku, setelah ku merasa ada seseorang yang menepuk pundakku. Dan ternyata itu sahabatku Husna.

“Han, kenapa dari tadi ngelamun aja? Hayo?? Lagi lamunin siapa??? Kak Zaid ya?? Aku bilangin ya ke orangnya!! Kak Zaid ada yang…”Belum selesai Husna menyelesaikan kata-katanya, dengan cepat aku membekap mulutnya.

“Ssttt... Husna jangan bilang ke orangnya!!!!!!” Ujarku setengah berbisik.

Kak Zaid yang sedari tadi membaca buku, terhenyak kaget. Lalu,  dengan cepat dia menoleh kearah Husna tampaknya dia mendengar perkataan Husna tadi. Aduh, ini membahayakan, pikirku.

“Ya, ada apa Husna?” Ujar Kak Zaid seraya menghampiri aku dan Husna.

“Ennggg, ini kak tadi... Aww” Ku injak kaki Husna sebelum dia melanjutkan pembicaraanya. Lalu ku tatap dia dengan pandangan yang mengisyaratkan melarang dia untuk mengatakannya pada  Kak Zaid.

“Nggak apa-apa kak, cuman mau bilang kalau ada yang cocok bukunya untuk kakak. Ya, buku tentang ilmu fiqih gitu kak.” Kata Husna seraya memberikan buku ilmu fiqih pada Kak Zaid. 

Huft, jawaban Husna sejenak membuatku lega.

“Hm, iya makasih ya na. Dikira ada apa? Habis tadi kamu kelihatan serius banget sih na.” Kata Kak Zaid seraya tersenyum, senyuman yang  bisa membuat Hani meleleh di tempat.

“Iya Kak.. Sebenarnya ini buku punya Hani yang aku pinjam, karena aku lihat kakak suka baca buku kayak gini , makanya aku tawarin ke kakak.” Kata Husna memperjelas.

Aku lihat Kak Zaid melempar senyum padaku yang membuat aku tersipu malu.

“Ya udah, Hani bukunya aku pinjam dulu ya?” Kata Kak Zaid dengan senyumnya yang semakin manis, membuat Hani sulit bernafas.

“Iya, silahkan kak aku nggak keberatan kok.” Ujarku dengan senyum yang tak kalah manisnya.

“Ehm-ehm? Aku kok serasa jadi orang ke-3 diantara kalian ya? Udah yuk Han, kita ke kelas.” Ujar Husna yang tampak kesal karena hanya menjadi penonton di adegan drama tadi. Hah tunggu adegan drama?

Mendengar perkataan Husna tadi membuat pipiku merona seketika. Aku pun langsung meninggalkan Kak Zaid tanpa sepatah kata pun yang ku ucapkan. Kulihat Kak Zaid agaknya salah tingkah juga, sama sepertiku. Apa dia menyukaiku? Ah, pikiran macam apa ini mana mungkin dia menyukaiku yang sangat berbeda jauh darinya?

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Angin timur mulai berhembus, mengiringi terbitnya fajar yang tak lama lagi akan datang menyingsing. Aku duduk tepat menghadap jendela, karena aku tak mau kehilangan panorama indah yang selalu dating rutin saat mentari mulai menampakkan dirinya. Ah, lagi-lagi sekelebat bayangan dirinya muncul di benakku. Senyumannya yang menawan seakan terus melekat di otakku. Ya allah? Aku mengakui bahwa aku telah  jatuh cinta pada hambamu yang satu ini.

Setelah menyaksikan indahnya panorama pagi ini, aku pun bersiap untuk sekolah. Aku benarkan ngletak jilbab yang aku kenakan ini. Aku bergegas pergi menuju tempat dimana terdapat ke dua orang tuaku. Ya, aku sudah terbiasa untuk selalu pamit kepada orangtuaku saat hendak pergi ke sekolah.

“Assalamualaikum Umi, Hani ke sekolah dulu ya.” Pamitku kepada Umi.

“Waalaikumsalam, hati-hati ya kak di jalan.” Kata Ummiku, aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil di wajahku.

Detik-detik waktu berlalu dengan cepat, seperti rasa cintaku padanya yang menjalar cepat ke seluruh pikiranku. Entah apa yang membuatku suka bahkan cinta padanya. Jujur aku tak bisa melepaskan raut wajahnya di benakku. Tak, terasa akhirnya aku sampai ke sekolahku tercinta. Bergegas aku masuk ke sekolah, setelah ku lihat gerbang sekolah yang tampak di mataku. Lagi-lagi aku merasakan ada yang menepuk pundakku.

“Eh, Tari buat aku kaget saja.” Ujarku setelah mengetahui sosok yang menepukku adalah Tari.

“Emang kamu pikir aku siapa Han? Ish-ish pagi-pagi kok melamun? Hayo, mikirin siapa tuh?” Seru Tari yang membuatku hanya tersenyum malu.

“Itu loh Tar, Hani lagi falling in love !!” Seru sebuah suara yang membuatku kaget. Ternyata sosok itu adalah Husna.

“Ya, Allah na.. Main nyamber aja!!” Seruku pada Husna.

“Eh, tunggu-tunggu apa katamu Na??? Hani lagi falling in love ???? Sama siapa Ni?” Seru Tari tiba-tiba menerobos, kaya gerbong kereta yang nggak bisa dihentikan lajunya.

“Itu loh, Hani lagi falling in love sama…” Tiba-tiba perkataan Husna terputus saat suara kak Zaid terdengar.

“Assalamualaikum, Hani ini bukunya terimakasih ya.” Ujar kak Zaid dengan senyum manisnya.

“Waalaikumsalam, iya kak sama-sama.” Sahutku, seraya berusaha menenangkan suara detak jantung yang semakin menderu.

“Ya sudah kalau gitu, kakak ke kelas dulu ya. Assalamualaikum.” Ujar kak Zaid seraya bergegas pergi.

Aku pun menjawab salamnya, sedangkan kedua temanku masih terbengong-bengong melihat adegan tadi. Terlebih Tari, terlihat dari mulutnya yang mulai menganga. Daripada melihat mereka melamun dalam pikiran masing-masing lebih baik aku pergi. Saat kakiku baru mau melangkah, tiba-tiba pergelangan tanganku ditarik oleh seseorang.

“Eh, Han tunggu jangAn main kabur aja?? Kamu lagi falling in love sama kak Zaid kan??? Hayo, ngaku!!! Kelihatan tahu dari rona wajah kamu.” Ujar Tari sambil tersenyum nakal.

“Ssssstt.. Iya-iya aku ngaku aku suka sama dia, tapi jangan kasih tau siapa-siapa ya!!” Ujarku.

Sudahlah, aku harus buru-buru  masuk kelas. Aku pun meninggalkan mereka yang masih terlena bersama pikiran mereka masing-masing tentunya. Ah, aku ingin cepat istirahat lalu ke perpustakaan tempat dimana Kak Zaid biasa terlihat. Aku tak sabar melihat senyumnya yang sumringah itu.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Alhamdulillah, akhirnya waktu yang  aku natikan tiba. Segera aku bereskan buku-buku yang tampak tertumpuk di mejaku. Aku melakukannya dengan terburu-buru, sehingga tak jarang aku malah membuat buku-buku itu semakin berantakan. Teman-temanku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang lain dari biasanya. Sedangkan Tari, senyam-senyum sendiri melihatku. Akh, peduli amat mikirin apa yang ada di benak dia. Untungnya, Husna tidak sekelas  denganku, kalau tidak mungkin dia bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuanku.

Aku pun bergegas keluar kelas tanpa mempedulikan tatapan aneh di sekelilingku. Risih rasanya, ditatap seperti itu. Akhirnya, aku terlepas dari tatapan-tatapan yang menjengkelkan itu. Ku langkahkan kakiku menuju perpustakaan. Selain karena disitu selalu terdapat Kak Zaid, aku pun memiliki hobi yang sama dengannya  yaitu membaca. Jadi, aku  pun tak bosan menungguinya, karena aku pun menyalurkan hobiku disana.

“Assalamualaikum Mba.” Ujarku pada Mba Lista  seorang pustakawan di sekolahku.

“Waalaikumsakam Han. Tumben kesini mau baca apa?” Ujar perempuan berjilbab biru itu sambil tersenyum menatapku.

“Ehm, iya nih Mba mau baca novel?” Ujarku seraya tersenyum pada Mba Lista.

Aku pun bergegas menuju ke bagian novel. Ku edarkan pandanganku melihat keadaan sekitar. Aku pun terpaku diam setelah melihat sosok yang aku cari. Wajahnya,yang serius membaca buku benar-benar membuatku terpesona. Tertegun, ku menatap sosoknya yang tampak manis. Ah, kenapa  tiba-tiba suara detak jantungku berbunyi kencang? Apakah benar aku jatuh cinta pada Kak Zaid?

Aku pun bergegas mengalihkan pandanganku dari Kak Zaid, setelah tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Lagi-lagi wajahku bersemu merah,  wahai Ar-Rahman bantulah aku, jangan sampai Kak Zaid melihat wajahku yang merona ini. Aku pun berpura-pura sibuk mencari novel.

Huft, akhirnya lega juga setelah melihat Kak Zaid kembali focus membaca bukunya. Setelah memilah beberapa novel, akhirnya aku mengambil sebuah novel yang menawan hatiku. Novel itu berjudul "Ya Rabb Aku Jatuh Cinta" karya Abdul Shidiq. Hmm, novel ini tepat sekali dengan kondisi suasana hatiku sekarang. Aku pun sibuk membaca buku itu, hingga tak terasa suara bel pun berbunyi.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Sang raja langit menyinari dengan sinarnya yang tak terlau menyengat. Angin barat berhembus dengan lembut, membelai setiap ujung helaian jilbabku. Ku nikmati suasana di senja hari ini, membiarkan diriku terlarut menikmati keindahan senja.

Hmm, sungguh membosankan pelajaran hari ini. Sungguh, hal itu membuatku ngantuk dibuatnya. Tapi untungnya keindahan senja, membuatku sedikit melupakan segala kepenatan yang aku rasa. Senyumku mulai melebar di wajah manisku, ketika teringat di benakku kalau sebentar lagi aku akan melangkahkan diri ke luar ruangan.

Teeet... Akhirnya, pelajaran fisika telah aku lalui. Dan saatnya aku melepas segala kepenatan yang ada dalam diri ini. Tapi, belum sempat melangkah. Tari, segera  menyuruhku untuk menemaninya ke toilet. Akh, dasar anak ini.

“Eh, Han tunggu temanin  aku ke toilet yuk. Udah ke belet nih.”Kata Tari setengah memaksa.

“Aish, ya-ya.. Oke, tapi cepetan ya.”Ujarku.

“Hore, makasih ya Han.” Sorak Tari, seperti anak kecil kegirangan karena menerima hadiah.

Huft, aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Tari yang seperti anak kecil ini. Dengan setengah terpaksa aku mengikuti langkahnya. Huft, kalau dia bukan temanku sejak kelas 10, mana mau aku menuruti keinginannya.

“Akh, lama banget Tari di  kamar mandi.” Sungutku kesal.

Tak berapa lama setelah aku menumpahkan segala rasa kesalku tadi, tampak sosok manusia mendekat padaku, yang ternyata adalah Kak Zaid. Aku pun terbengong-bengong atas kedatangan Kak Zaid. Untuk apa Kak Zaid kesini, pikirku.

“Assalamualaikum.” Sapa Kak Zaid.

“Waalaikumsalam. Hmm, ada apa kak?” Sahutku bingung.

“Ini  Hani, sebelumnya maaf kakak mendadak menginformasikannya ke kamu. Sebenarnya kan nanti sekolah kita ngadain pensi, terus kamu di suruh jadi salah satu panitianya. Afwan mendadak, Pak Hakim baru menginformasikan ke kakak barusan.” Ujar Kak Zaid sambil tersenyum.

“Oh iya kak, makasih sudah repot-repot memberitahu ke saya.” Sahutku tersenyum.

“Iya, sama-sama. Ya udah, kakak duluan assalamualaikum.”Ujar Kak Zaid.

Aku pun menjawab salamnya, lalu diam mematung. Oh, ya rabb sebuah kebetulan tak terduga, dengan ini aku bisa dekat dong sama Kak Zaid dia kan ketua pensi? Agaknya Husna sedari tadi memperharikanku. Ku lihat mulutnya menganga terbuka lebar, bertanda dia kaget karena kejadian barusan.

“Hush, jangan lebar-lebar kenapa buka mulutnya?? Ada lalat masuk tahu rasa kau.” Ujarku menghardik Husna yang tampak melongo itu.

“Ha… Habis kaget, kamu sama Kak Zaid kaya udah lama kenal, akrab banget kelihatannya..”  Ujar Husna seraya tersenyum jahil ke arahku.

“Hush.. Ngomong apa kamu?? Ngelantur aja kerjaannya.. Ya, udah yuk kita pulang.” Ajakku sambil menahan malu.

Huft, kejadian hari ini benar-benar membuatku malu bukan kepalang. Lagi-lagi Husna meledekku saat aku sedang dekat dengan Kak Zaid. Ya Allah, jangan sampai rasa suka yang aku rasakan membuatku terjerumus dalam zina.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Semilir angin berhembus lembut, aku biarkan pikiranku melayang jauh entah kemana. Ku nikmati panorama senja hari ini, membiarkan diriku terlena dengan keindahannya. Jarang sekali aku punya waktu luang melepas penat seperti ini. Ya, benar-benar “waktu luang” dalam hakekat sebenarnya. Karena saat ini aku tak mempunyai beban pikiran apapun. Membuatku bebas menikmati keindahan alam di muka bumi ini.

Aku menuliskan serangkai kata-kata nan indah dalam bentuk puisi. Ya, aku sudah terbiasa menulis puisi di kala senja datang menyapa. Puisi bagiku, bukan hanya kumpulan kata-kata. Tapi, puisi adalah tempat dimana seseorang mencurahkan isi hatinya dalam hakekat yang sebenarnya. Aku biarkan jari-jariku menari indah bersama  pena yang di genggamnya. Membiarkan sang pena sibuk merangkai kata-kata nan indah dan menawan penuh makna.


Dalam indahnya senja ku tulis puisi ini
Dalam kerumunan ilalang ku merangkai semua ini  
Dalam  perasaan kalut ku ungkapkan hal ini.. 
Saat rasa gelisah menghampiri diri ini.. 
Sang mentari menjadi saksi..
Melihat diri yang tampak pucat pasi...     
Yang menunggu harapan yang tak pasti…                                      
Yang kau berikan dengan senyum tak pasti..
Aku dengar  suara gemerisik daun yang bernyanyi..                    
Diiringi suara merdu burung yang bernyanyi                                
Diiringi sorak sorai anak-anak di sore hari..                                  
Membuatku sedikit tersenyum,                                                Melupakan nestapa yang menimpa diri


Huft, mungkin puisi itu tak menarik menurut kalian? Tapi itu membuat aku sedikit lega akan pikiran tentang Kak Zaid. Ya, tentang dia orang yang menawan hati ini.Ku ukir namanya saat lembayung senja turun. Sang surya menjadi saksi, akan cintaku padanya.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Hari ini berjalan seperti biasa, ya, tak ada satu hal pun yang bisa di bilang “istimewa”. Tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, kecuali satu hal, hari ini ada rapat untuk persiapan pensi 2 minggu ke depan, sehingga membuat hari-hariku semakin sibuk.

“Han, kamu ada rapat ya hari ini? Ya.. Kita nggak bisa pulang bareng dong Han..” Ujar Husna.

“Iya, nggak apa-apa. Kamu bisa pulang sendiri kan Na? masa gara-gara nggak ada aku kamu rela nggak pulang ke rumah.” Seruku seraya tersenyum jahil.

“Ish,apa-apaan sih Han.. Kau ini menyebalkan, aku masih normal Han.” Ujar Husna.

Dia pun bergegas pergi meninggalkanku., Sedangkan aku hanya dapat geleng-geleng kepala melihatnya. Ah, Husna tingkahnya masih seperti anak kecil saja. Ku langkahkan kakiku ini menuju ruang rapat, tampak disana sudah banyak orang yang sedari tadi menunggu agar rapat segera di mulai. Huft, aku pun menduduki kursi tepat di samping jendela. Membuatku sedikit nyaman melepas penat dari rapat yang membosankan itu.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Akh, akhirnya rapatnya usai juga. Aku pun mulai membereskan buku-buku catatan yang ada di atas meja. Ku langkahkan kakiku untuk segera pulang ke rumah. Tapi akh sial, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ya Allah,  aku pulang pasti dimarahin ini. Baju udah basah kuyup nggak karuan, ah bagaimana dengan buku-bukuku??

Tiba-tiba aku merasakan, tetesan hujan tak lagi membanjiri diri ini. Aku dongakan kepala dan kudapati sebuah payung menutupi diri ini. Ku lihat sekeliling, ternyata ada sesosok  orang yang memayungiku. Oh ya rabb, ternyata dia Kak Zaid. Orang yang membuat aku jatuh cinta.

“Ehm, kak nggak usah repot-repot. Aku hujan-hujanan nggak apa-apa kok kak. Udah biasa.” Ujarku ketika Kak Zaid menyerahkan payungnya ke padaku.

“Hmm, nggak apa-apa kok dek. Lagian kakak bawa payung dua. Hmm, udah dulu ya,  takut menimbulkan fitnah. Assalamualaikum, de.” Ujar Kak Zaid lalu bergegas pergi.

Wajahku masih terpana melihatnya. Tak mungkin, apa dunia sudah terbalik? Kenapa Kak Zaid berperilaku seperti itu?  Aku pun mulai terlarut dalam anganku. Wahai Rabb semesta alam. Apakah aku sedang bermimpi?

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Huft, akhirnya tibalah acara  yang dinanti-nanti. Hari  ini adalah hari dimana pensi akan dilaksanakan. Dan pada hari ini pula aku memutuskan untuk mengembalikan payung milik Kak Zaid. Walau perasaan ragu masih sering kali terbesit dalam benakku.

Oh, ya Husna telah aku beritahu tentang hal ini. Dia tampak kaget, atas perilaku Kak Zaid terhadapku. Dia dengan cepat menganga seketika. Entahlah, apa yang akan dia pikirkan. Aku tak peduli.

“Han, ayo cepat kamu kan tugasnya jadi MC kan??” Seru Kak Dini kakak kelasku.

“Hm, iya kak sebentar.. Susunan acaranya belum di print nih.” Ujarku tergesa-gesa.

“Hah??  Belum di print??!! Cepat sana ke lab computer! Masa acara mau dimulai susunan acara belum disiapkan!!” Seru Kak Dini setengah menggerutu.

Tanpa berkata-kata lagi, aku pun bergegas ke Lab. Komputer. Bergegas aku memprintnya, dengan terburu-buru. Acara pun dimulai, untungnya aku sudah siap dengan tugasku sebagai MC itu.

“Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang dengan rahmatnya  kita dapat berkumpul di kesempatan yang berbahagia ini. Shalawat serta salam, semoga tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Yang terhomat Bapak Kepala Sekolah, Bapak/Ibu guru, Ketua panitia pensi dan teman-temanku sekalian.” Ujarku memulai acara dengan pembukaan.

Acara pun mulai berjalan dengan lancar. Sampai akhirnya tibalah saat Kak Zaid membacakan puisinya. Oh,tanpa disangka-sangka dia mempunyai  hobi yang sama denganku. Berikutlah  bunyi puisi  yang di bacakan Kak Zaid.


Dalam sujudku kepadamu Ya Rabb                                                                                                   

Ku dambakan ampunan darimu wahai Al Ghafur.                                                                         

Kau lah penyayang makhluk hidup wahai Ar-Rahman                                                                 
Tolonglah aku agar tak berjalan di jalan yang bathil


Sungguh sederhana kata-katanya., tapi sungguh dalam makna di dalamnya. Wahai Rabb, salahkah aku jatuh cinta padanya??

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Sudah setahun ini aku kehilangan kontak dengannya. Entah karena apa hal ini bisa terjadi. Hari ini adalah hari dimana Kak Zaid akan lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Apakah rasaku padanya harus terhapus sekarang juga??

“Eh,  Han yakin nih kamu nggak mau bilang kalau kamu suka sama Kak Zaid? Kamu kan udah setahun ini suka sama dia?” Tiba-tiba Husna memberondongku dengan pertanyaanya.

“Hm, gimana ya Na? Masa sih cewek yang ngomong duluan? Entar kalau di tolak gimana??  Bisa malu banget aku.” Ujarku sambil menunduk.

“Ah, Han. Kau ini khawatir amat sudah jelas kalau Kak Zaid suka sama kamu hal itu terlihat kan dari sifatnya yang berbeda kepadamu?” Seru Husna mendesakku.

“Hm, oke Husna. Doakan aku ya,semoga berhasil.” Ujarku seraya melangkah pergi.

“Iya Han, good luck ya.” Kata Husna sambil tersenyum.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Langit mendung seakan hujan akan turun, Seperti diri ini yang juga tampak mendung. Aku mengingat kejadian barusan, saat aku menembak Kak Zaid.

#Flash back

“Assalamualaikum kak.. Bisa bicara sebentar?” Ujarku meminta persetujuan Kak Zaid.

“Waalaikumsalam, ya boleh. Ada apa?” Tanya Kak Zaid heran.

“Kak, sebenarnya aku udah suka sama kakak selama setahun ini. Bukannya aku menginginkan berpacaran dengan kakak. Aku hanya menyatakan perasaanku ke kakak.” Ujarku sambil menunduk, tak berani menatap tatapan teduh itu.

“Hmm, ya perasaan suka itu lumrah. Tapi sebaiknya kau menghilangkan rasa suka itu. Karena perasaan cinta sebelum menikah adalah fatamorgana. Jujur dik, kakak juga suka sama kamu. Tapi kakak enggak mau rasa cinta kakak ke kamu melebihi rasa cintaku pada Rabb-ku.” Ujar Kak Zaid sambil tersenyum  pebuh arti.

“Hmm, iya kak... Bisa aku mengerti.” Ujarku sambil tersenyum gamang.

#Flash back off

Semilir angin bertiup lembut, seakan  hendak menghiburku yang sedang sedih ini. Dalam balutan senja, aku menutup ceritaku tentangnya. Ya, senja lah yang menjadi saksi bisu akan cintaku padanya.

......


0 Comments