Pernahkah
Anda merasa bahwa hidup sekarang jauh lebih rumit dibandingkan masa kecil kita dahulu?
Kalau dahulu masalah orang tua sederhana, bagaimana mencari nafkah, bagaimana
memastikan anak bisa sekolah, bagaimana keluarga bisa makan cukup. Tapi hari
ini, masalahnya jauh lebih kompleks. Anak-anak bisa tinggal satu rumah dengan
orang tuanya, hanya berjarak satu meter, tapi sebenarnya mereka hidup di dunia
yang berbeda. Dunia digital, pertemanan global, dan nilai-nilai baru yang
sering kali membuat orang tua bingung.
Ulama
besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi sudah jauh-jauh hari mengingatkan
hal ini dalam bukunya Mādzā Khasira al-‘Ālam bin Hithāth al-Muslimīn
(Apa Ruginya Dunia karena Kemunduran Umat Islam). Beliau menekankan bahwa tantangan umat Islam di zaman modern bukan hanya soal
ekonomi atau politik, tetapi tantangan iman (ujian akidah) yang lebih halus,
lebih berbahaya, dan belum pernah dialami umat-umat sebelumnya. Hal senada juga
diingatkan oleh Muhammad Asad (dulu bernama Leopold Weiss), seorang cendekiawan
Yahudi asal Austria yang kemudian masuk Islam. Dalam bukunya Islam at the
Crossroads, ia
menyebutkan bahwa dunia modern saat ini berada di simpang jalan. Umat Islam, jika
tidak berhati-hati, bisa kehilangan arah dan ikut hanyut dalam peradaban global
yang sebenarnya bersifat antiagama.
Krisis
Komunikasi
Mari
kita mulai dari lingkup yang paling dekat, keluarga. Berapa banyak orang tua
hari ini yang merasa kehilangan anak, bukan secara fisik, tapi secara batin?
Anaknya ada di rumah, tapi pikirannya entah di mana. Mereka punya dunia sendiri;
komunitas daring, idola-idola global, hingga nilai-nilai hidup yang mungkin
sama sekali tidak dipahami orang tuanya.
Orang
tua bekerja keras siang malam untuk membiayai anak sekolah, kuliah, bahkan
menikah. Tapi ternyata, peran itu tidak cukup. Anak-anak tidak hanya butuh
makan, pakaian, dan biaya sekolah. Mereka butuh bimbingan, teladan, dan
kehangatan dialog. Sayangnya, inilah yang paling sering hilang. Fenomena
“hilangnya anak” dalam keluarga bukan berarti anak kabur dari rumah. Tapi jiwa
mereka sudah tidak lagi bisa disentuh orang tua. Mereka punya pemikiran
sendiri, kepercayaan sendiri, bahkan cita-cita yang sama sekali tidak diketahui
keluarganya.
Pertanyaannya,
apakah kita sebagai orang tua masih mampu menjadi pendidik utama bagi anak-anak
kita, ataukah kita sudah menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah, gadget, dan
lingkungan luar?
Globalisasi
Kita
hidup di era globalisasi. Slogan populer menyebut bahwa ada tiga hal yang
diglobalkan food, fun and fashion. Coba perhatikan di mana pun kita berada,
makanan cepat saji sama saja. Hiburan juga begitu, satu film Hollywood bisa
langsung mendunia, satu artis Korea bisa membuat remaja di berbagai negara
histeris. Begitu juga mode. Apa yang dipakai model di New York atau Paris bisa
dengan cepat ditiru anak-anak muda di Jakarta, Surabaya, atau bahkan kota kecil
di pelosok.
Peradaban
modern tidak hanya menguasai teknologi, tapi juga berhasil menguasai cara
pandang manusia terhadap dirinya. Cantik itu tipis, kurus, putih, begitu kata
iklan. Padahal dulu, standar kecantikan bisa berbeda. Akhirnya, banyak orang
rela melakukan apa saja demi kurus; diet ekstrem, obat berbahaya, bahkan
operasi. Ada yang depresi hanya karena merasa tubuhnya “tidak ideal.” Inilah
contoh nyata bagaimana industri global berhasil membentuk persepsi, bahkan
sampai mengatur standar bahagia dan percaya diri seseorang.
Perubahan
Nilai di Barat
Jika
kita melihat ke Barat, perubahan nilai semakin ekstrem. Gereja-gereja banyak
yang kosong dan dijual. Ada
fenomena “gereja telanjang” di mana jemaatnya beribadah tanpa busana. Ada juga
“gereja setan” yang secara terang-terangan menolak Tuhan. Lebih jauh lagi, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa secara resmi
mengesahkan perkawinan sesama jenis. Bayangkan, kitab suci mereka sendiri (Injil) sebenarnya menyebut perilaku
homoseksual sebagai dosa besar, tapi kini malah dilegalkan. Bahkan beberapa
tokoh agama di sana ikut meresmikan perkawinan homoseksual.
Masalahnya,
nilai-nilai ini tidak berhenti di Barat. Melalui prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia (HAM) internasional, salah satunya Yogyakarta Principles tahun 2007
isu LGBT mulai dipromosikan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan ada aktivis dari Indonesia yang mendukung di forum internasional,
padahal Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Kebingungan
Nilai
Di
negara-negara Barat, otoritas orang tua terhadap anak sudah sangat terbatas.
Anak berusia 18 tahun bisa membawa pacarnya ke kamar, dan orang tua tidak boleh
melarang. Kalau melarang, bisa dituduh melanggar hak asasi. Di sekolah atau
pesantren pun, guru tidak bisa lagi bebas mendidik dengan disiplin keras. Ada
kasus seorang ustaz masuk penjara hanya karena memukul santri dengan gantungan
kunci.
Di
sisi lain, isu kesetaraan gender juga berkembang pesat. Di Barat, tidak ada
lagi konsep laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Semua setara mutlak. Rancangan
Undang-Undang (RUU) kesetaraan gender di Indonesia pun sempat masuk daftar
Prolegnas, dengan usulan kuota minimal 30% pengurus organisasi harus perempuan. Ada kekhawatiran, bila dipaksakan, hal ini justru mengganggu peran kodrati
laki-laki dan perempuan sebagaimana diatur dalam Islam. Di sini kita melihat
bahwa masyarakat modern sering terjebak pada dua kutub ekstrem, dulu perempuan “ditindas”,
kini perempuan “dibebaskan” tanpa batas. Sementara Islam sudah menawarkan jalan
tengah sejak 14 abad lalu, dengan menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai
porsinya, adil dan seimbang.
Penyembahan
Baru
Apa
sebenarnya “tuhan-tuhan baru” manusia modern? Jawabannya adalah kekayaan,
kekuasaan, popularitas, dan kecantikan. Anak-anak muda banyak yang menjadikan
artis atau influencer sebagai panutan. Mereka berlomba-lomba mengejar kekayaan
instan, popularitas di media sosial, atau kecantikan yang sering kali
artifisial. Padahal, semua itu fana. Popularitas bisa hilang dalam sekejap.
Kekayaan bisa musnah. Kecantikan pasti pudar. Tapi inilah realitas zaman,
banyak orang lebih takut kehilangan “like” di Instagram daripada kehilangan
iman.
Jalan
Keluar
Lalu,
apa yang bisa kita lakukan? Jawaban paling sederhana sekaligus paling sulit adalah
kembali kepada pendidikan adab. Al-Qur’an sudah jelas memerintahkan:
“Wahai
orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(QS. At-Tahrim: 6).
Imam
Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat ini dengan kalimat singkat yaitu “Didiklah
mereka dengan adab.”
Luqmanul
Hakim memberi contoh dalam nasihatnya kepada anak, jangan berbuat syirik,
dirikan shalat, berbakti kepada orang tua, dan berani menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar. Semua itu adalah fondasi adab; adab kepada Allah, kepada orang tua, dan kepada
masyarakat. Adab bukan sekadar teori yang diajarkan di kelas. Adab harus
dicontohkan, dibiasakan, dan didisiplinkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang
tua tidak cukup hanya membiayai anak, tapi juga harus mendidik mereka menjadi
pejuang di bidang masing-masing. Ada yang bisa berjihad dengan ilmu, ada yang
dengan teknologi, ada yang dengan ekonomi, semua dalam koridor Islam.
Sebuah
Ajakan Reflektif
Kita
hidup di zaman yang penuh kebingungan. Nilai-nilai lama dihancurkan, nilai baru
dipaksakan. Anak-anak kita menghadapi dunia yang berbeda dengan dunia kita
dulu. Jika kita lengah, mereka bisa hanyut tanpa arah. Namun, justru di sinilah
tantangan sekaligus kesempatan. Sejarah menunjukkan bahwa umat Islam pernah
kokoh meskipun dijajah ratusan tahun. Mereka tidak mudah murtad, karena ulama,
guru, dan orang tua tetap istiqamah menjaga akidah.
Sekarang,
tugas kita adalah meneruskan tradisi itu, menjaga keluarga, memperkuat iman,
dan membangun generasi beradab. Bukan sekadar generasi pintar atau kaya, tapi
generasi yang tahu tujuan hidupnya yaitu mencari ridha Allah dan kebahagiaan
akhirat. Mari kita renungkan, apakah kita sudah benar-benar hadir dalam
kehidupan anak-anak kita, ataukah kita hanya “mesin ATM” di rumah? Apakah kita
sudah menanamkan adab, atau hanya mengejar nilai rapor dan ijazah? Apakah kita
sudah menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup, atau masih terjebak pada jebakan
materialisme modern? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan
masa depan kita, keluarga kita, dan umat Islam secara keseluruhan.
Zaman
boleh berubah, tantangan boleh semakin berat, tapi kunci kemenangan tetap sama,
iman, adab, dan istiqamah. Jika kita mampu menjaga diri dan keluarga dari api
neraka, maka insyaallah, kita tidak hanya selamat di dunia, tetapi juga
berbahagia di akhirat.
[1] An-Nadwi,
Abul Hasan Ali. Mādzā Khasira al-‘Ālam bin Hithāth al-Muslimīn. Kairo:
Maktabah al-Muhtasib, 1950.
[2] Asad, Muhammad. Islam at the Crossroads. Gibraltar: Dar al-Andalus,
1982.
[3] "UK
Churches In Crisis As Thousands Close," Vision Christian Media, 2023,
https://vision.org.au/read/news/international/uk-churches-in-crisis-as-thousands-close.
[4] "How
the Church of Satan Was Born in San Francisco," KQED, 2023,
https://www.kqed.org/news/11964949/how-the-church-of-satan-was-born-in-san-francisco.
[5] "Same-Sex
Marriage Around the World," Pew Research Center, Juni 2025,
https://www.pewresearch.org/religion/fact-sheet/same-sex-marriage-around-the-world/.
[6] International Commission of Jurists, Yogyakarta Principles: Principles on
the Application of International Human Rights Law in Relation to Sexual
Orientation and Gender Identity (Yogyakarta: International Commission of
Jurists, 2007).
[7] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), "Kemen
PPPA Usulkan Dua RUU Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak dalam Prolegnas
2025-2029," InfoPublik, 12 Oktober 2024,
https://infopublik.id/kategori/nasional-sosial-budaya/877290/kemen-pppa-usulkan-dua-ruu-kesetaraan-gender-dan-perlindungan-anak-dalam-prolegnas-2025-2029.
[8] Ali
bin Abi Thalib, dikutip dalam Nahj al-Balaghah: Peak of Eloquence, terj.
Muhammad Rasyid Rida (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 125.
[9] Al-Qur’an, Surah Luqman [31]:13-19.


0 Comments