SENJA KALA SENJA



Kutulis catatan ini dengan sejuta rasa, beribu makna, dan segenggam asa. Perlahan, kucoba membuatnya indah layaknya bunga yang mekar sempurna. Kau tahu? Lembaran ini khusus kurangkai untukmu wahai pecinta senja. Selagi rasa ini masih sehangat cahaya musim semi dan bayangmu masih menghiasi benakku, kan kucoba untuk mengungkap puzzle-puzzle hatiku.

Sore itu, taman dipenuhi riuh redah kaki-kaki kecil yang berlari. Suara gelak tawa terdengar seiring ayunan rambut yang tertimpa cahaya keemasan. Tanpa sadar seulas senyum terlukis di wajahku, tak kusangka pada akhirnya aku pun tertular. Tik tok, tik tok sang waktu berpacu tanpa ragu. Sesekali aku menguap, novel di tanganku hanya kubaca sambil lalu. Mau bagaimana lagi? Tugasku di sini tak lebih dari seorang pengamat, menemani Kia sahabatku untuk menemuimu. Tapi, itu bukan masalah selama rasa penasaranku terpuaskan. Bagaimana tidak? Saat itu pertama kalinya kulihat Kia berbunga-bunga seperti layaknya orang jatuh cinta. Ya, saat itu aku begitu penasaran dengan dirimu.

“In, itu Neil," bisik Kia seraya menunjukkan jarinya ke arah sosokmu yang tengah bersantai di bangku kayu. Kulihat dirimu sibuk membaca buku dengan kacamata berframe hitam yang terbingkai di wajahmu. Sebuah tas cangklong yang masih setia berada di pundakmu tak luput dari pengamatanku.
“In, kok lo diam aja? Menurut lo dia ganteng nggak?” tegur Kia membuyarkan lamunanku.
 “Entahlah, tapi dia manis," ucapku seraya kembali mencuri pandang ke arahmu. Ck, ada apa denganku?
“Lo udah puas kan lihatnya? Kalau gitu kita pulang sekarang ya?" bisik Kia dengan wajah bersemu. Aneh, tak biasanya dia begitu.
“Serius nggak mau nyapa dulu?” godaku.
“Nggak, gue takut melting di depan dia” ujar Kia lalu pergi dengan napas memburu. Sebelum tawaku meledak kuputuskan untuk beranjak mengikutinya. Tadi nggak salah kan? Kia yang selama ini tak tahu menahu tentang cinta bisa salting kayak gitu?

Langit sudah kembali muram saat aku membaringkan diri di tempat tidur. Namun, entah kenapa kejadian sore itu terus berputar di pikiranku. Sebagai rekan se-UKM wajar saja kamu dan Kia bisa saling mengenal.  Tapi untuk jatuh cinta, apa mungkin? Kutatap kertas yang berisi sebaris nomor dari salah satu akun sosmedmu. Tanpa sepengetahuan Kia diam-diam aku mulai mencari segala informasi tentangmu. Duh, kenapa aku jadi kepo? Apa dibalik cerita Kia diam-diam aku menyimpan rasa? Terus ini nomornya mau aku apain? Aku coba telepon aja kali ya?
“Duh, jangan-jangan nyambung lagi? Kalau misalnya diangkat Neil gimana?”
“Halo, ini siapa?" Seketika mataku membulat. Lah? Kok nyambung?
“Maaf mungkin salah sambung," jawabku sambil memainkan kuku.
“Hah? Kau pura-pura lupa ya? Siapa  nama yang kau sebut tadi?" ketusmu. Jadi, tadi dia dengar?
“Maaf, cuman iseng Kak, aku pikir nomor ini nggak aktif." Keringat dingin mengalir di dahi kananku.
“Hahaha, nggak usah gitu juga, tapi…” belum selesai kamu bicara, dengan cepat aku memutuskan sambungan.

Untuk beberapa saat lamanya belasan panggilan darimu tak kuhiraukan. Akh, andai waktu dapat diputar ulang, seharusnya aku tidak selancang itu. Kupejamkan mata perlahan, mencoba untuk tidur. Lupakan Ina! Anggap tak ada yang terjadi!

Seminggu pun berlalu hingga hari rabu kembali kujumpa. Kala itu senja kembali menampakkan batang hidungnya. Namun, bagiku tak ada yang istimewa darinya karena aku adalah pencinta malam yang tenggelam dalam pesona bintang-bintang. Hal itu membuatku hanya memandangnya sekilas dari balik jendela berbingkai coklat sebagai pertanda waktu pulang. Tapi, ada sosok yang menghalangiku untuk bergegas. What the? Kenapa aku harus bertemu denganmu?

Kulihat dirimu sibuk menopang dagu dengan tangan kananmu. Kacamatamu kau biarkan tergeletak percuma di samping buku kalkulus berwarna ungu. Kau biarkan dirimu hanyut menikmati panorama di seberangmu. Hei! Apakah senja seindah itu?

Eh? Kenapa aku memandangmu?  Dengan cepat ku beranjak pergi ke meja pustakawan.  Diriku tersentak saat tak sengaja bertatapan denganmu. Kupercepat langkah menuju pintu dengan wajah menunduk. Getaran ini adalah suatu hal yang tak pantas ku rasakan.

Harusnya kau sadar Ina!

Setelah mencoba menghindar darimu, aku malah terjebak di halte bus. Telah 20 menit berlalu, tapi nyatanya bis bernomor 16 tidak kunjung muncul. Apalagi langit yang semula berwarna jingga telah berganti kelabu. Benar saja tak lama kemudian ia menangis tanpa bisa ditahan. Hah… mau pergi ke terminal tapi payungku ketinggalan di perpustakaan. Ck, kalau begini bisa-bisa aku pulang larut malam.
“Bukankah meteorologi adalah ilmu alam? Tapi, kenapa ramalan cuaca tak selalu benar? Berbeda sekali dengan ilmu metafisika yang hukumnya saja tak bisa diubah-ubah,” gerutuku.
“Ternyata kakak salah menilaimu In." Eh?! Sejak kapan kak Neil berdiri di sampingku?! Bumi! Tenggelamkan aku sekarang!
“Meteorologi adalah ilmu yang dapat memperkirakan cuaca dari laju angin, suhu, tekanan, uap air, dan masa angin. Indonesia merupakan tempat bertemunya dua masa angin yakni, angin dari benua asia dan angin dari benua Australia, sehingga perubahan cuaca dapat berubah dengan cepat. Ditambah lagi dengan adanya pemanasan global,” terangmu tanpa peduli aku mati kutu. “Kenapa kaget? Mencari informasi tentang orang kuker sepertimu bukan hal yang sulit Ina,” lanjutmu. Ck, ternyata kau menyebalkan.
“Orang kuker kok dicari? Itu artinya kakak lebih kuker dong?!” balasku sengit. Sejenak, segaris senyum tampak di wajahmu.
“Terserah deh, duluan ya!" tukasmu sambil lalu.

Beberapa saat setelah kau pergi aku memberanikan diri melihat sekeliling. Terlihat, sebuah payung berwarna polkadot hitam-putih tergeletak di sampingku bersama selembar kertas putih. Hah? Itu kan payungku?! Dengan cepat kubaca kertas itu,

Lain kali jangan ceroboh! Ngapain tadi lari-lari nggak jelas? Kayak ngelihat hantu aja. Mungkin ini telat tapi... salam kenal Ina.

Mataku menatap ragu tulisan itu, jadi sebenarnya kamu itu makhluk seperti apa?
Tanpa disangka sejak sore itu aku semakin dekat denganmu. Suatu kali pernah kau membimbing penelitianku dan Kia. Rasanya aneh, aku nggak percaya bisa melihat bintang bersamamu. Walaupun secara teknis nggak bisa dikatakan seperti itu., karena kamu sibuk  berdiskusi dengan Pak Karley. Sehingga seringkali aku dan Kia melakukan observasi sendiri. Terkadang aku cemburu melihatmu bersikap manis saat memberi pengarahan pada Kia. Biarlah, lagipula itu adalah resiko karena aku terlalu berani mencintaimu.

Setelah Kia pergi suasana menjadi canggung membuatku mendadak bisu. Aku bergegas membereskan barang-barangku tanpa sekali pun menoleh ke arahmu. Setelah pamit dengan Pak Karley aku pun beranjak pergi keluar dari gedung berwarna abu itu. Apakah hari ini akan berakhir begitu saja?
“In, tunggu dulu ada yang mau kakak omongin ke kamu,” ucapmu, membuatku berbalik ke arahmu.
“Ada apa kak?”
“Kamu tahu kenapa kakak ngajak kamu ke observatorium?” tanyamu yang membuat dahiku berkerut, aku pun menggelengkan kepala. “Itu karena kakak ingin mencoba menikmati dan memahami hal yang kamu suka Ina,” lanjutmu.
“Terus kenapa?” tanyaku dengan berusaha menahan gugup.
“Mungkin kamu bisa mendapatkan jawabannya dari sini.” Jawabmu sambil menyerahkan sebuah buku tebal berwarna hitam dengan gambar bintang jatuh sebagai sampulnya.

Sesampainya di rumah perlahan aku membuka buku yang ternyata adalah sebuah album. Sungguh, aku terpana melihat senja yang difoto dalam berbagai sudut dan foto berbagai benda langit yang kau susun secara silang. Pada akhir halaman kutemukan secarik kertas bergradasi hitam putih, aku pun membaca isinya.


Ina... Jujur kakak akui, sebenarnya kakak suka sama  Ina.
Tapi, kakak tidak mau menodai kesucian Ina.
Oleh karena itu, kakak nggak pernah mengutarakannya.
Mungkin ini terdengar primitif.
Tapi, akan ada saatnya kedua insan saling berbahagia dalam ikatan yang suci.
Jika kita ditakdirkan bersama kita akan dipertemukan kembali.
Diakui secara hukum dan masyarakat sebagai pasangan sejati.
Surat ini jangan dibuang ya.
Jangan terlalu dekat sama pria manapun, cukup berurusan seperlunya.
Terimakasih, sudah membuat kakak semakin mencintai senja.

Terima kasih juga telah membuat kakak dapat menikmati malam.

Kau tahu? Besoknya aku terbangun dengan cincin hitam yang menggantung di mataku. Ukh, kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan kata-katamu? Apakah mereka sudah berubah menjadi canduku?

Dengan langkah lunglai aku berjalan ke gedung barat. Hal itu membuatku sesekali bertabrakan dengan orang-orang yang berlalu lalang. Cukup memakan waktu hingga akhirnya aku sampai ke gedung hijau itu. Namun, baru saja aku memasuki lorong diriku kembali terantuk. Ck, siapa lagi yang aku tabrak? Refleks aku pun mendongak, membuatku terpaksa menatap manik matamu.
"Ah, maaf Kak," ujarku terbata lalu beranjak mundur.
"Santai aja In," ujarmu dengan lengkungan sabit di wajahmu. "Btw, gimana? Kamu suka?" tanyamu seraya membenarkan letak kacamatamu.
"Aku suka, tapi Kak, aku,"
"Sstt... nggak usah dilanjutin, kakak udah tahu kalau kamu juga merasakan hal yang sama," ujarmu dengan kedua lesung pipi di wajahmu.
"Maaf Kak, tapi ini nggak seperti yang kakak pikirkan. Awalnya memang sempat terpikirkan olehku kalau aku memiliki perasaan yang lebih kepada kakak. Tapi, pada kenyataannya kurasa itu hanya perasaan cemburu," ujarku seraya mengalihkan pandanganku darimu.
"Cemburu?" ulangmu tak mengerti.
"Ya, aku cemburu karena kakak dekat sama Kia. Hal itu membuatku menganggap kalau kakak merebutnya dariku. Padahal dia satu-satunya teman baikku," jelasku sambil menatap lurus ke arahmu. "Kurasa perasaanku terhadap kakak hanya perasaan bahagia karena berhasil membuat kakak tak lagi dekat dengan Kia," lanjutku.
"Ah... kamu serius tentang itu?" tanyamu lirih.
"Ya, untuk apa aku berbohong?" tegasku. 
"Jadi, kurasa aku tidak bisa menerima ini. Maaf Kak," ujarku seraya mengeluarkan album  dari tasku lalu memberikannya padamu.
"Nggak usah, simpan aja. Sampai jumpa lagi Ina," ujarmu dengan senyum tak bernyawa lalu berbalik , berjalan menjauh hingga aku tak dapat lagi melihat punggungmu. Tanpa sadar setetes air mata jatuh di pipiku. Ha... maafkan aku yang berbohong padamu.

......

3 Comments