PADI


“Wiwit lenggah tumungkal, sila rapet kaliyan papan, punika pasemo manungsa wiwitipun kedah andhap asor, angengeti asalipun pasiten, lan asor ing alamipun.”  Ujar Mbah Karti sebelum laras slendro mulai berbunyi.
****
Pintu berwarna coklat itu dibuka  saat matahari mulai meninggi. Dari balik pintu muncul sosok dengan rambut lurus sepinggang yang tampak berantakan. Wajahnya tampak kusam, dapat ditebak bahwa dia tidak cukup tidur tadi malam. Langkahnya gontai, sesekali dirinya menguap. Berlatih tari jawa klasik memang bukan hal yang mudah.
BRAAKK!!!
Mata merah itu terbelalak. Bibirnya mengerucut saat mengenali sosok yang menimbulkan keributan.
“Hhh... ono opo tho  dek? Isuk-isuk kok wes rame!"
“Ck, Mbak iki lali opo?  Dino  iki kulo  ono rapat  penggalangan dana.” 
“Oh... Yo wes, ojo lali oleh-olehe!”  Miftah bungkam. Lah? Mau beramal malah ditarik oleh-oleh. Emang mau jalan-jalan? Tanpa banyak bicara ia pergi meninggalkan Layla yang terkikik geli.  Tawanya belum usai saat tiba-tiba Miftah berbalik.
“Oh ya... Mbak!!! Jarene Mbak Rara koe dikongkon kumpul neng sekolah!!! Nek ora salah katane ono rapat OSIS jam sewelas!”
“Iyo,” Layla memutar matanya malas. Huh, gagal total rencananya hari ini.
Waktu berjalan lambat bagi Layla. Raganya memang berada di ruangan itu, tapi jiwanya tidak ditempatnya. Berpindah-pindah dari alam sadar ke alam mimpi.  Arus pembicaraan tidak diikutinya, sesekali dia hanya memberi respon yang jawabannya selalu sama, “Ya, setuju.”
“Lay!!!” Layla terhentak,sadar.
“Ya? Ada apa Kak?”
“Dari tadi kamu melamun Lay. Kalau kamu nggak serius, saya pikir lebih baik kamu mengundurkan diri dari kepanitiaan! Udah jarang hadir, sekalinya datang nggak pernah seerius!” seru  Kak Ardhi ketus.


***
Layla merenggut masam, nyaris saja ia melontarkan amarahnya. Sebelum sebuah suara kembali tergiang di telinganya. “Manungsa wiwitipun kedah andhap asor, angengeti asalipun pasiten, lan asor ing alamipun.” Setelah beberapa saat, akhirnya permintaan maaf meluncur dari bibirnya.
“Maaf, jika saya nggak bisa selalu hadir mengikuti rapat. Mungkin, banyak dari kalian yang berpikir ada atau tidaknya  saya tidak berpengaruh apapun. Tapi tentu saja, saya tidak pernah berpikir untuk menyepelekan tugas . Selama ini  pekerjaan yang ditugaskan kepada saya telah tuntas. Jika kakak tidak percaya, bisa ditanyakan kepada Kak Nina selaku sekretaris.” tegas Layla membuat semua orang terdiam. 
“Kau memang pandai berkata Layla... baik, tapi jangan sampai kamu berbuat kesalahan lagi. Karena sedikit saja terdapat kesalahan pada satu divisi akan berpengaruh pada divisi lainnya. Hal itu akan merusak acara.” ujar kak Ardhi akhirnya.
Setelah itu  rapat ditutup. Ketegangan yang terjadi sebelumnya perlahan mencair.Tapi, itu tidak berlaku bagi Layla. Kata-kata yang diucapkan Kak Ardhi telah tertancap di benaknya. Keringat dingin mebasahi dahinya, ia sibuk berpikir tentang langkah yang harus diambil selanjutnya.
****
Suara gamelan memenuhi ruangan,mengiringi penari dengan gerak patah-patah. Gerakan luwes nan mempesona, membuka kembali kenangan raja-raja. Beberapa kali Layla menari tidak sesuai irama, gerakannya tampak kaku, dan sesekali terjatuh. Mbah Karti yang heran lantas mendekatinya.
“Ono opo tho nduk?” Layla menggeleng.
“Ora ono opo-opo mbah.” Mbah Karti tersenyum maklum.
“Koe ngerti ndok? Wosipun ngagesang punika, kedah sampurna panglarasipun,  ing jawi lebet,liripun: tumrap larasing jawi, tiyang badhe njoged Alus, sarira kedah lurus, polatan tajem, pasemon sumeh; ingkang beksa Branyak sarira repeh kewes, pasemon wingit; ingkang beksa Bargas sarira antar pasemon ladak; ingkang beksa Sereng-regu dedeg kepara ageng inggil, radi balung kawetu, pasemon andik angajribi.  Sok wategipun santun-santun bangsanipun inggih mugi santun : Brahmana saged santun Satriya, Satriya dados Wissa, Wissa dados Sudra, Sudra dados Brahmana, makaten upaminipun. Ananging manawi santun minggah, inggih kalayam rekaos, beda yen maleret, inggih gampil kaleksanipun. Awit sedaya  gersang puika lahiripun yen boten upakara, inggih saya suda ajinipun.”
Bayang-bayang yang terpikir sebelumnya perlahan hilang. Layla tersenyum kecil. Kenapa ia harus berpikiran negatif? Menyerah tanpa usaha bukanlah hal yang terbaik yang bisa dilakukannya. Sehingga tak pantas bagi dirinya untuk menyerah sekarang.
****
Detik terus berputar. Festival Budaya telah berakhir dengan sukses, Kak Ardi terlihat  tersenyum samar. Tiba-tiba suasana mendadak hening. Pertunjukkan penutup yang tidak dapat disangka. Perlahan tapi pasti, langkah mereka semakin luwes dan anggun. Layla menari dengan penuh penghayatan. Sembari memikirkan arti dari setiap gerakan.
“Lajeng mratingkahaken asta kiwa lan tengen, driji kagathukaken tengah sami tengah, asta kiwa lan tengen kapetha silih ungkih, gentos kasor, wekasan ingkang kiwa kalimputan ingkan tengen, punika pasemonipun, tindak ngiwa awon, nengen sae, dados manawi sae sampun saged angungkali awonipun, lajeng kanggea sare manembah ingkang sawiji, nanging ingkang awon kadunungma panggenanipun, ingkang sae dipunkurepana, mila rampunging manembah, asta kiwa wangsul  mangiwa, asta tengen mangkureb ing suku tengen, punika sampun leres.”
***
Suara tepuk tangan membahana memenuhi auditorium. Pengumuman nominasi tarian terbaik telah diumumkan beberapa saat yang lalu, di negeri jiran itu. Seorang gadis dengan senyum merekah perlahan menuruni  panggung. Kebaya hijau melekat cantik di tubuhnya. Perlahan sosok berbaju batik mendekati dirinya.
“Selamat Lay, kamu telah mengharumkan budaya kita dengan menjadikannya nominasi  terbaik.” Layla menunduk malu. Bagaimana tidak? Yang memujinya adalah Kak Ardi yang semula memandang sebelah mata hobi yang ditekuninya itu.
“Ng... iya Kak, lagipula gerakan di setiap tarian mempunyai makna. Jadi sudah wajib bagi kita untuk melestarikannya.” Kak Ardi tersenyum.
“Pertahankan Lay, menjadi  padi  semakin tinggi semakin menunduk.” Layla mengangguk.
“Doakan Kak.” 

…..

0 Comments