“Jangan berharap pemimpin peduli kepada anda, jika anda saja tidak peduli kepada pemimpin.”

Dengan
memperhatikan & mengkaji sistem yang
dianut Indonesia dalam segala aspek, tentunya kritik yang disertakan cukup
banyak. Sebelum berbicara golput ada
baiknya kita menelisik kriteria pemimpin yang layak di berikan jabatan.
Jujur.
Dalam kitab
khuluqul muslim yang dikarang oleh seorang penulis Mesir Muhammad Alghazali, mengatakan
akhlak dan kriteria yang wajib ada pada setiap muslim adalah sifat jujur,
karena pangkal dari kebaikan ada padanya. Jadi, pemimpin yang layak diberi
jabatan adalah pemimpin yang jujur.
Dalam konteks
kejujuran ini tentunya harus terdapat didalamnya kapasitas dan integritas.
Ketika Nabi Yusuf berdialog dengan Amir Mesir, Al-Qur’an menyebutkan untaian
yang diucapkan oleh Nabi Yusuf “Inni hafizhun ‘alim” – kapasitas dan
integritas.
Amanah.
Dalam surah
Al-Qashah terjadi dialog antara Nabi Syu'aib dengan putrinya. Al-Qur’an
mengabadikan kalimat “Qawiyyul amin” – Kuat dan amanah. Kriteria kuat disini
mencakupi dalam segala aspek.
Seminimal-minimalnya
harus ada 2 sifat tersebut yang harus kita perhatikan dalam hal memilih dan
menentukan pemimpin.
Hak Pilih
Imam Al-Mawardi
dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah mencantumkan syarat yang harus dipenuhi dan berhak untuk
mendapatkan hak pilih jika memenuhi 2 syarat,
1.
Al-‘Adalah.
Al-‘adalah
yang dimaksudkan disini adalah bermoral
dalam menetukan alur politik.
2.
Mempunyai pengetahuan tentang penentuan pemimpin.
Terdapat Paragraf menarik dari essay mojok tentang
ragam golput.
Pada 2004, KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) kecewa dengan KPU dan pranata hukum Indonesia.
Gus Dur merasa KPU telah melanggar UU Kesehatan, UU
Penyandang Cacat, dan UU Pemilu; dengan tidak meloloskan dirinya sebagai bakal
capres. Gus Dur sudah berusaha maksimal. Semua kanal hukum dan sosial beliau
tempuh. Hasilnya nihil. Gus Dur kecewa. Lalu dia putuskan untuk golput. Tidak
memilih. Buat apa mengikuti acara-acara KPU sementara hak dia untuk mencalonkan
diri dikebiri? Kita sebut saja yang semacam ini dengan istilah golput
responsif. Golput sebagai aksi protes balasan.
Di sisi lain dunia, sekelompok aktivis kemanusiaan
kecewa dengan negara. Kecewa pula dengan semua calon pemimpin yang akan
mengurus negara ini. Tidak ada yang berusaha menuntaskan kasus HAM masa
lalu. Tidak ada yang punya niatan membatalkan reklamasi Telok Banoa. Tidak ada
yang prioritaskan lingkungan di atas kepentingan industri, misalnya. Setelah melihat rekam jejak paslon yang ada, tidak ada
yang benar-benar menuruti kehendak mereka. Sebab itu mereka memilih golput.
Kita sebut saja kondisi kedua ini sebagai golput
idealis. Golput sebagai tindakan karena idealisme mereka mengatakan itu.
Kondisi ketiga seperti dialami sejumlah mahasiswa
rantau. Berasal dari kawasan Timur Indonesia dan belajar di Jogja. Mau pulang,
mahal. Mau nyoblos di sini, malas dengan birokrasi. Daripada repot urus administrasi,
ya sudah lah nggak perlu ke TPS. Kita sebut saja golongan ini dengan golput
administratif.
Di belahan bumi lain, sebuah negara luluh lantah
karena perang saudara. Kelompok sipil terbelah. Kelompok militer terbelah pula
menjadi beberapa faksi. Observer Internasional memaksakan pemilu. Sebab hanya
kepemimpinan dengan legitimasi politik yang kokohlah yang dapat mengakhiri
krisis politik itu. Ternyata yang ikut andil dalam pemilu tidak sampai 50%
dari pemilik hak suara. Oleh karenanya hasil pemilu tetap tidak punya
legitimasi. Masing-masing faksi masih keukeuh dengan pihaknya masing-masing.
Berkali-kali pemilu tidak kunjung berhasil sebab angka golput tinggi. Golput seperti ini kita namakan saja golput apatis.
Sebab itu, agamawan setempat lalu mengajukan fatwa:
golput haram. Sebab golput membawa ketidakpastian akan nasib negara. Gambaran
negeri-negeri seperti ini bukan karangan saya. Kamu bisa jalan-jalan ke
sebagian negara Timur-Tengah untuk tahu contohnya.
Dari hal itu, maka jelas bahwa kondisi-kondisi golput
perlu digambarkan lebih dulu. Dalam adat Bahtsul Masail biasa
disebut dengan tashawwur. Deskripsi keadaan yang akan difatwakan.
Karena satu golput punya beberapa sebab, maka hukumnya tidak akan pernah
tunggal.
Hukum Golput
Dengan berbagai gambaran di atas, lantas manakah hukum
golput yang akan dipakai?
Kondisi pertama seperti dialami Gus Dur, siapa yang berani bilang itu haram? Seorang mantan
Presiden hendak mencalonkan kembali. Ditutup aksesnya oleh penyelenggara
pemilu. Dengan alasan yang, menurutnya, tidak konstitusional. Rasa-rasanya sah
saja. Paling tidak sangat jauh dari kesan haram.
Kondisi kedua seperti yang banyak saudara-saudara
lihat di lini masa para aktivis. Kita bisa berbeda pendapat soal itu. Namun
untuk menganggapnya sebagai tindakan haram, yang benar saja?
Kondisi ketiga seperti yang dialami oleh ribuan
mahasiswa rantau. Apa mau dicap haram juga? Lha wong mereka disusahkan sebab
administrasi kok malah dilabel haram? Melakukan keharaman itu konsekuensinya
berat lho. Neraka, Bro.
Terhadap kondisi-kondisi tersebut, kita bisa sebut
memilih adalah hak, bukan kewajiban. Kalau mau dipaksakan pun, paling banter
adalah fardhu kifayah. Suatu kewajiban kolektif. Jika sudah dilaksanakan oleh
sebagian besar orang, gugur kewajiban dari mereka yang tidak. Tidak bisa naik
jadi fardhu ‘ain.
Paling pas dengan label haram adalah kondisi ketiga.
Di mana ke-masabodoh-an betul-betul membawa petaka. Berlaku pula dalam
referundum untuk menentukan nasib bangsa. Jika pemungutan suara adalah
satu-satunya cara untuk keluar dari persoalan berat, maka wajib hukumnya.
Untuk itu, yang sudah madhep-mantep mau golput, ya
silahkan diteruskan. Meski golput yang saya maksud ini adalah golongan putih
yang belakangan ini sudah direbut branding-nya.
Solusi.
Solusi yang
bisa memberikan pencerahan dengan sistem yang dikandung ibu pertiwi adalah
dengan voter education. Mendidik para pemilih dengan pendidikan yang “baik”.
Wallahua’lam.
____
Berfaedah dari Tgk. Fakhruddin Lahmuddin

0 Comments