Saya heran, dana sebanyak ini kok tidak
berdampak sama sekali terhadap kemajuan Aceh. Nggak usah muluk-muluk,
saat acara PARIS 3 di kampus beberapa pekan lalu Pak Asrul Sidiq selaku
pemateri sekaligus pemantik api kecil mengatakan “Bocor, saya sedih uang kita
bocor keluar Aceh semua.” Kenapa bocor? Opini "bocor" bertebaran dimana-mana. Sebenarnya persoalan ini tidak bisa di selesaikan dalam
satu atau dua hari saja. Sebuah pe-er yang besar bagi Ureung Aceh.
Mengutip dari Aceh Pungo dengan redaksi 2008
silam, dengan pengubahan angka APBA. Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA)
disahkan. Jumlahnya, tak tanggung-tanggung: Rp17,104 T. Sebuah kabar
yang menggembirakan. Meskipun nantinya banyak dari anggaran tersebut tidak bisa dinikmati oleh rakyat. Tapi, setidaknya rakyat sudah mendengar, bahwa
banyak anggaran tahun ini yang diperuntukkan untuk mereka.
Uang
sejumlah Rp17,104 triliun termasuk banyak. Kalau untuk beli kopi, sampai
tujuh turunan mati pun
masih tersisa uangnya. Pokoknya, kalau kita beli kopi
Ulee Kareng dengan sejumlah itu, penjualnya bisa meninggal saat mengaduk
kopi. Uang tersebut lebih dari cukup untuk sekedar membeli cendol bang
Joni.
Kita berdoa saja, agar harapan masyarakat di Gampong tidak terbang
begitu saja. Soalnya, masyarakat di Gampong sangat berharap bisa menikmati
kue pembangunan, karena pengalaman dulu-dulu, kue tersebut
hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Tahun inilah
kesempatan buat mereka. Jika tidak, tak ada bedanya antara dulu dan
sekarang. Rakyat tetap saja melarat dan sebagian malah
sekarat.
“Kupue tadungo dum peng diro u Aceh, tanyoe
mantong meu keu bakong asoe hana pat tacok,” ujar Wak Minah seorang pedagang kaki lima
di pasar Sigli. “Pue dum that ilee peng 17 Triliunnyan pue?
Sampe tiep uroe dimeusunoh?” tanyanya lagi, saat disampaikan bahwa
tahun ini, anggaran untuk Aceh sekitar Rp17,104 T.
Pedagang seperti
Wak Minah, sama sekali tak pernah bermimpi punya duit sampai miliaran
rupiah. Baginya, dapat sehari Rp12 ribu sudah cukup. Karena, dengan uang
sejumlah itu, dapurnya bisa berasap. Dia tidak berharap
muluk-muluk, yang penting uang yang didapatnya halal.
Tak aneh, jika
orang seperti Wak Minah sama sekali tak terlalu ambil pusing disahkannya APBA. Mau disahkan
atau nggak itu bukan urusan dia. Toh, dia sama sekali tidak
merasakan manfaat dari anggaran
yang melimpah itu. Yang ribut hanya para elite, pejabat, kontraktor dan
pengusaha. Masing-masing berhitung, tahun ini berapa anggaran yang bisa
didapatnya. Dia sama sekali tidak mau peduli, bahwa sebenarnya anggaran
itu diperuntukkan bagi rakyat, bukan untuknya saja. Akibatnya, siang dan malam mereka
tak bisa nyenyak.
Hanya orang seperti Wak Minah, sebenarnya yang merasa tenang
saat anggaran disahkan. Soalnya, dia tidak terlalu ambil pusing atau
melobi sana-sini agar ada proyek yang diloloskan. Baginya, lapak tempatnya
berjualan tidak digusur sudah cukup. Orang seperti Wak Minah merasa hidup
nyaman. Will Foley pernah mengatakan: Dunia ini penuh kaktus, tapi kita tidak harus
duduk di atasnya.
Mumpung masih di awal tahun, mari berbenah.

0 Comments